Bukan sekali dua kali memang
Kementerian Agama mendapatkan sorotan maupun tudingan yang bernada “miring”
dari masyarakat maupun sesama institusi negara yang lainnya. Sehingga kemudian
bila kali ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan statement bahwa Kementarian
Agama merupakan salah satu dari 3 kementerian yang rawan korupsi dan memberikan
pelayanan terburuk kepada publik, banyak orang tidak menjadi kaget lagi. Hal
ini membuktikan bahwa citra Kementerian Agama dalam pandangan publik masih
“belum dalam keadaan positif”. Namun, bagi seorang Menteri Agama, tudingan ini
tetaplah merupakan sesuatu yang perlu diklarifikasi, sehingga Menteri Agama
merasa perlu menyambangi KPK, untuk meminta klarifikasi sekaligus juga
memberikan klarifikasi mengenai tudingan tersebut.
Adanya
anggapan dan tuduhan-tuduhan negatif terhadap institusi Kementerian Agama,
memang seharusnya tidak perlu disikapi dengan reaktif. Adanya citra negatif
dalam opini publik, hendaknya justru membuat segenap keluarga besar kementerian
agama lebih mawas diri dan instrospektif. Adanya hal-hal tersebut setidaknya
menunjukkan bahwa, masih adanya perhatian dari publik, dan publik pun masih
mengharapkan agar institusi kementerian agama ini menjadi lebih baik lagi. Oleh
karena itu, maka anggap saja bahwa statement-statement negatif tersebut merupakan
kritik atas kondisi institusi kementerian agama. Sehingga, hal ini justru
menjadi pemicu bagi segenap jajaran kementerian agama, untuk bekerja lebih baik
lagi.
Momentum
Hari Amal Bhakti Kementerian Agama saat ini yang diwarnai kritik atas
kinerjanya, hendaknya dijadikan pula sebagai momentum untuk kritik oto kritik,
yakni instrospeksi diri. Hal ini perlu dilakukan, sebab, tentu saja tidak ada
yang lebih tahu persoalan-persoalan dalam tubuh institusi kementerian agama,
kecuali orang-orang yang ada didalamnya. Lalu,
sejauh mana sesungguhnya “ghirah” orang dalam institusi Kementerian
agama untuk berubah ke arah yang lebih baik? penulis yakin, banyak pihak yang
menaruh harapan besar, terhadap Kementerian Agama Republik Indonesia, salah
satunya ditengarai dengan banyaknya kritikan sebagaimana diungkapkan diatas.
Namun bagaimana halnya bila, umpamanya, ternyata SDM di Institusi kementerian
agama sendiri ternyata sudah berada dalam “zona nyaman” dengan kondisinya saat
ini, sehingga tidak ada ghirah perubahan dalam rangka “reformasi
birokrasi”.
Jika kita melakukan otokritik kedalam
institusi kita sendiri, jelas motif kita adalah untuk membuat institusi kita
menjadi institusi yang lebih baik, lebih nyaman untuk kita diami, tanpa ada
tendensi apapun, kecuali untuk kebaikan bersama. Begitu banyak yang harus
diperbaiki, tentu kita sendiri sebagai “orang dalam” telah maklum adanya. Tidak
mudah memang, namun hal ini bukan sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan.
“Banyak jalan menuju Roma”, demikian kata orang. Janganlah berputus asa bila
semangat perubahan belum mampu menembus jalur yang bernama “birokrasi”.
Sebagai bagian dari keluarga besar kementerian
agama, semangat Ikhlas Beramal tentu bukanlah motto kosong belaka. Motto Ikhlas
Beramal terkadang diplesetkan menjadi beramal seikhlasnya, tidak lepas dari opini negatif yang telah
terbentuk di masyarakat. Padahal para pendahulu kita menggunakan motto Ikhlas
Beramal untuk institusi kita, sebagai sebuah doa dan harapan, agar segenap
keluarga besar Kementerian Agama beramal dan bekerja sebagai sebuah bentuk
pengabdian kepada bangsa, negara dan masyarakat.
Ikhlas secara bahasa mengandung makna bersih,
suci, tidak mengandung kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dan tidak kotor.
Sedangkan secara istilah, makna ikhlas secara sederhana adalah tanpa pamrih
dunia dan hanya berharap ridha dari Allah SWT. Oleh karenanya, memaknai motto
ikhlas beramal bisa diawali dari pemahaman bahwa ikhlas adalah “bekerja dijalan
yang suci bersih dengan jalan dan cara yang suci bersih tanpa mengharap pamrih
kecuali keridhaan dari Allah SWT. Terdengar idealis sekali memang, namun
penulis yakin, dalam tataran konsep, tidak mudah untuk menyangkalnya serta
bukan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan.
Namun sebagai konsekwensi logis dari seorang
yang bekerja, tentu ada reward atas segala jerih payah, tenaga, dan pikiran
yang dikorbankan. Memiliki penghasilan atas pekerjaan yang telah dilakukan,
adalah hak setiap manusia yang bekerja. Namun, karyawan kementerian agama,
idealnya memiliki nilai-nilai filosofis keikhlasan, sehingga dalam bekerja,
tetap mempertahankan nilai-nilai kesucian dan nilai-nilai ajaran agama.
Ikhlas Beramal juga mengandung makna aktif,
dimana kata “beramal” bisa dimaknai bahwa segenap insan kementerian agama harus
selalu beramal, yakni bekerja, beraktifitas, yang memberi manfaat kepada bangsa
dan negara serta masyarakat. Bukankah teladan kita Rasulullah SAW bersabda; “Khairukum
anfa’ukum linnaasi”, sebaik-baik kamu adalah yang memberi manfaat bagi
sekalian manusia.
Ada keluhan dikalangan sebagian kecil karyawan
Kementerian Agama, dimana masyarakat menuntut bahwa karyawan Kementerian Agama
itu harus bisa memimpin doa, tahlil, mengimami sholat, berkhutbah, atau
berceramah. Sedangkan mereka merasa tidak memiliki keahlian untuk itu, karena
memang bukan lulusan, perguruan tinggi agama Islam atau “jebolan” pondok
pesantren. Disatu sisi, memang tidak semua karyawan kementerian agama, memiliki
skill keagamaan seperti itu. Namun disisi lain, ada ekspektasi yang kuat
di masyarakat, bahwa karyawan kementerian agama, tentulah orang-orang yang
memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang agama dan keagamaan. Ini
merupakan sebuah tantangan, bila ternyata seorang karyawan kementerian agama
tidak mampu melakukannya. Namun sekaligus sebuah peluang bagi kementerian agama,
yaitu dengan memperbaiki kualitas SDMnya untuk memperbaiki citranya. Memang
bukan hal besar, namun bisa dipakai sebagai pijakan awal. Kata seorang
motivator “bukankah hal-hal besar itu berawal dari hal-hal kecil yang dilakukan
dengan hebat?”
Setiap pegawai negara, memang sepatutnya
selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas dirinya, sehingga mampu memberikan
pelayanan yang maksimal pada masyarakat, bukan hanya pegawai kementerian agama.
Sebagai karyawan Kementerian Agama, kita memang bukan manusia sempurna, yang
mampu melakukan segalanya. Kita hanya manusia biasa, yang memiliki banyak
kekurangan. Memang perlu diluruskan, pandangan masyarakat bahwa karyawan
kementerian agama pasti ahli dalam bidang keagamaan. Namun disatu sisi,
tuntutan masyarakat tersebut hendaknya membuat kita lebih termotivasi untuk
menambah pengetahuan, wawasan dan keterampilan dalam bidang agama dan keagamaan
Islam khususnya.
Idealnya memang karyawan kementerian agama itu
berdedikasi tinggi, memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, memiliki
kecakapan dan keterampilan dibidangnya, namun juga mampu menjadi uswatun
hasanah, dalam beramal shalih, menjadi lokomotif paling depan dalam
ketaqwaan kepada Allah SWT.
Memang tidak mudah mengubah mindset masyarakat
tentang suatu hal, yang sudah tertanam dengan kuat karena pengalaman empirik,
ditambah pula dengan rekayasa opini publik. Citra negatif kementerian agama,
bukan sebuah hal mustahil untuk dihilangkan. Momentum Hari Amal Bhakti
Kementerian Agama kali ini, kita dihadapkan pada tantangan bahwa kita masih
dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Namun demikian, sesungguhnya masyarakatpun
menaruh harapan besar pada institusi yang kita cintai ini. Jangan sampai
membuat masyarakat kecewa. Kita masih bisa berubah, ke arah yang lebih baik
tentunya. Bahwa kementerian agama mampu memberikan pelayanan terbaik pada
masyarakat, memberikan teladan yang baik (uswatun hasanah) dalam
beramal. Semuanya bisa diawali saat ini, oleh kita sendiri. Kalau tidak
sekarang, kapan lagi, kalau bukan kita, siapa lagi?
Selamat Hari Amal Bhakti Kementerian Agama,
Tetap Ikhlas beramal...!
Written by: Didin
Fahrudin, S.Sos.I.
(Penyuluh Agama Islam Kecamatan
Astanajapura Kabupaten Cirebon)
Artikel ini Alhamdulillah di Muat di Media Pembinaan Edisi januari 2012 halaman 8-9...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar