Jumat, 28 Januari 2011

Masjid Cuma Buat Numpang Sholat (bagian 2)

Mengembalikan Fungsi Masjid (sambungan...)

Buat saya, masjid selain tempat sholat, juga sebagai sarana sosialisasi dan aktualisasi diri. Oleh karena itu, saya selalu sempatkan untuk ikut wirid bersama, doa bersama, dan kemudian bersosialisasi dengan tetangga jauh. mengapa tetangga jauh?
Masjid menjadi tempat berkumpulnya manusia dari segenap penjuru komplek perumahan tempat saya tinggal, yang jauh dan yang dekat. Karena tetangga dekat bisa saya jumpai setiap saat, nah, para tetangga jauh inilah yang kemudian saya ingin juga mengenal mereka, ya melalui sarana sholat berjamaah di masjid ini.
Hidup di komplek perumahan, memiliki dilema tersendiri. terkadang dengan tetangga terdekat sekalipun terasa jauh. Di masjid, saya bisa menemukan tetangga yang jauh rumahnya sekalipun, menjadi dekat dalam amal dan akidah.
Karenanya, saya sampai saat ini, masih saja heran dengan kelakuan tetangga-tetangga saya itu, yang memilih langsung kabur, tanpa mau bersalaman dengan jamaah lainnya. Saya terkagum-kagum sejenak dengan semangat mereka untuk melaksanakan shalat berjamaah...
Namun di sisi lain, entah apa penyebab, sehingga mereka, gak mau sekedar mengucap "amin", atau mengulurkan tangan saling menjabat...
Secara psikologis, saya merasa dijauhi, merasa dibiarkan, merasa dimarginalkan oleh mereka-mereka itu. padahal baru saja mereka shalat jamaah dengan saya, bahkan sampai jari kelingking kaki saya saya biarka mereka injak, demi merapatkan barisan versi mereka....
Wah... gimana ini?
Sekali lagi, buat saya, masjid bukan hanya tempat untuk beribadah, tapi juga tempat bersosialisasi dan aktualisasi diri....
So Please....
Mari Sejenak kita berjabat tangan...
Saling Merasa... bahwa bagaimanapun... Saya adalah saudara Anda...

Masjid Cuma Buat Numpang Sholat

Mengembalikan Fungsi Masjid

Shubuh tadi, seperti biasa ku langkahkan kaki ke masjid. Dan seperti biasa, jamaah subuh, tak pernah lebih dari satu shaf.
Setelah sekian lama, baru tadi shubuh saya seolah sadar, atau lebih tepatnya "ngeuh" dengan beberapa fenomena, yang setelah saya renungkan sambil berjalan pulang, rupanya luput dari perhatian saya.
Yang pertama, selain Imam, saya dan seorang makmum lainnya, ketika imam membaca doa qunut, makmum lain tidak ada yang ikut qunut. Walaupun hal itu bagi saya sebetulnya bukanlah sebuah masalah, hanya saja, seketika saya "ngeuh" bahwa seandainya saya yang jadi imam dan qunut, berarti saya baca buat sendiri sajalah... lha wong kalo saya baca untuk makmum juga mereka ndak ngaminin...hehehehe...
Lagi-lagi sebetulnya "its not a big deal... cuma, kaidah orang shalat berjamaah khan, Imam menjadi pusat segalanya, apapun yang dia lakukan, selama hal tersebut berada dalam konteks sholat, hatta bahwa hal tersebut adalah sunnah, mbok ya diikuti... Imam qunut ya ikut qunut, imam ndak qunut.. ya kita ndak usah qunut.. Saya pikir itu "Etika"... Etika Shalat Berjamaah..
dan Sekali lagi saya tekankan.. buat saya, IT IS NOT A BIG DEAL... toh cuma sunnah. hanya saja, ternyata hal itu baru saya sadari tadi pagi..
Hal yang kedua, Jamaah subuh tadi pagi, sebagaimana jamaah shalat rawatib lainnya... banyak yang saya kenal, dan banyak pula yang tidak saya kenal. Biasanya, setelah shalat berjamaah, dilanjutkan dengan wirid dan doa bersama, diakhiri dengan bersalaman tanda silaturahmi. namun beberapa jamaah ini, yang kebanyakan bercelana cingkrang dan berjenggot ala wedus (jenggot sedikit di piara), lebih memilih komat-kamit sendiri, berdoa tanpa mengangkat tangan, dan kabur sedapat mungkin sebelum jamaah lainnya bersalaman.
Padahal, saya juga gak keberatan kok untuk sekedar bersalaman, mengucap salam dan saling mendoakan, hatta sekedar saling jabat tangan.
Lagi-lagi, soal doa, wirid, buat saya gak jadi masalah ... tapi.. karena saya kedatangan dua temen saya, jadi saya akhiri saja sampai disini, dan pasti kan saya sambung lagi... oke???

Senin, 24 Januari 2011

Lembur


Bukan lembur sembarang lembur, bukan pula lembur dalam bahasa sunda.
tapi lembur, yaknee menggawe di luar jam kerja...
sampe jam sebelas.
Selamat Bekerja Sobat.
Tetap SEMANGAT PAGI....

Sabtu, 22 Januari 2011

Syukur Ni'mat

SYUKUR NI'MAT
oleh: Harbayanti Abdi, M.Pd.I
Penyuluh Agama Islam Kecamatan Talun

Ciri-ciri orang yang bersyukur diantaranya adalah hatinya ikhlas-gembira menerimanya dan lisannya selalu mengucapkan alhamdulillahirobbil'alamin. Dalam al Qur'an surat 16:114 Allah berfirman "…wasykuruu ni'matallahi inkuntum iyyaahu ta'buduuna", yang artinya dan syukurilah ni'mat Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.
Hakikat syukur ialah menampakkan ni'mat antara lain menggunakannya sesuai tempatnya dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut pemberinya dengan baik. Oleh sebab itu semua ni'mat yang kita terima harus menjadi kekuatan yang positif dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Diberi izin tinggal lebih lama di bumi Allah yang Maha Luas dalam keadaan sehat wal'afiat, harus benar-benar disyukuri dengan beribadah yang sebaik-baiknya. Dikarunia keluarga yang lengkap, harus disyukuri dengan mendidik dan merawat keluarga agar menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah. Diberi amanah pangkat dan jabatan yang tinggi, harus disyukuri dengan penuh tanggung jawab semata-mata kepada Allah. Janganlah kita menjadi kufur ni'mat sehingga Allah menimpakan adzab seperti umat terdahulu yang ingkar terhadap ni'mat Allah.
Kalau saja semua ni'mat yang besar maupun ni'mat yang kecil selalu kita syukuri, insyaallah akan bertambah ni'mat yang Allah berikan kepada kita. Sebagaimana firmannya dalam al Qur'an surat Ibrohim ayat 7 "wa idzta-adzdzana robbukum lainsyakartum la-aziidannakum wa lainkafartum inna 'adzaabii lasyadiid" yang artinya, Dan tatkala Tuhan kamu memaklumkan : Sesungguhnya demi, jika kamu bersyukur pasti Aku tambah kepadamu dan jika kamu kufur sesungguhnya siksa-Ku amat pedih"
Ini berarti setiap ni'mat yang dianugerahkan Allah, menuntut perenungan, untuk apa ia dianugerahkan-Nya, lalu menggunakan ni'mat tersebut sesuai dengan tujuan pemberiannya. Contoh wilayah Kabupaten Cirebon yang berbatasan dengan laut Jawa, Allah menciptakan laut dan menundukkannya untuk digunakan manusia dengan tujuan "agar dapat dimakan dagingya (dari ikan) yang segar dan agar manusia mengeluarkan darinya perhiasan (mutiara) yang dipakai dan agar manusia membuat bahtera-bahtera untuk mencari karunia-Nya" (QS 16:14). Maka mensyukuri ni'mat laut menuntut kerja keras dan cerdas sehingga apa yang disebut di atas akan diperoleh. Semakin giat seseorang bekerja, dan semakin bersahabat dia dengan lingkungannya, semakin banyak pula yang dinikmatinya. Itulah artinya syukur menambah ni'mat.
Di sisi lain di alam raya termasuk perut bumi, terdapat sekian banyak ni'mat Allah yang terpendam, ia harus disyukuri  dalam arti digali dan dinampakkan. Menutupi atau dengan kata lain mengkufurinya dapat mengundang kekurangan yang melahirkan kemiskinan, penyakit, rasa lapar, cemas dan takut. Itulah akibatnya jika kita tidak memanfaatkan ni'mat yang Allah berikan sebagaimana kehendak-Nya, maka Allah akan mengurangi ni'mat itu bahkan kita terancam mendapat siksa-Nya dengan berkurang atau hilangnya ni'mat itu, atau jatuhnya musibah kepada kita akan terasa amat pedih.  Janganlah kita mengira bahwa kehidupan ini seratus persen hanya untuk kebaikan kita. Ini tidak mungkin terjadi kecuali nanti di surga. Urusan dunia semuanya relatif. Tidak semua yang kita inginkan terpenuhi. Pasti akan datang ujian, misalnya sakit, musibah, bencana. Karena itu bersyukurlah saat senang dan bersabarlah saat susah.
Pandanglah besar terhadap suatu ni'mat yang Allah berikan walaupun mungkin ni'mat itu terasa kecil, jangan melihat kecilnya tapi lihatlah bahwa yang memberi ni'mat itu adalah Allah Yang Maha Besar. Sesungguhnya Allah telah menganugerahkan berbagai ni'mat terhadap hambaNya yang tak terhingga jumlahnya. Sebagaimana firman Allah QS. An Nahl:18 "wa in ta'udduu ni'matallahi laa tuhshuuhaa innallaaha laghofuururrahiim", dan jika kamu menghitung-hitung ni'mat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Hendaknya setiap muslim tidak melihat orang lain dengan pandangan cemburu atau iri hari, dengki, atas segala kelebihan ni'mat yang Allah berikan kepada orang lain. Karena hal itu akan mengurangi rasa syukur kita terhadap ni'mat yang sudah Allah berikan kepada kita. Akibatnya apa yang kita 'cemburui' dari ni'mat orang lain, tidak kita dapatkan. Ditambah lagi ni'mat yang telah Allah berikan kepada kita akan dicabut karena kurangnya rasa syukur kita terhadap ni'mat yang telah Allah berikan. Semua itu adalah akibat cemburu, iri, dan kufur terhadap ni'mat yang telah Allah berikan. Hitunglah ni'mat Allah kepada kita, jangan menghitung-hitung kesusahan kita agar kita tidak termasuk orang-orang yang ditimpa siksa yang pedih sebagaimana umat terdahulu yang kufur ni'mat.

Jumat, 14 Januari 2011

Sabar

Musibah, bencana, tragedi, serta apapun bentuk kemalangan yang menimpa kita, mungkin tak pernah kita rencanakan sebelumnya. Tapi tetap saja hal itu terjadi pada kita. Lalau apakah kita ikhlas rela dan rido dengan apa yang telah terjadi pada kita? bisa saja kejadian-kejadian tersebut merupakan teguran Allah kepada kita atas apa yang telah, sedang atau bahkan akan kita lakukan.
So, musibah mungkin ujian/cobaan bagi kita, tapi bisa jadi hukuman atau azab atas kesalahan kita. lalu bagaimana bisa kita membedakan suatu kemalangan itu adalah ujian atau hukuman?
Kata seorang Ustad, kita bisa menganalisis apakah suatu kemalangan itu adalah hanya ujian ataukah memang hukuman. Kalau memang hanya ujian, biasanya kemalangan itu hanya sebentar saja, cuma numpang lewat. kalau sakit, hanya minum obat warung, dah sembuh, dikerok, langsung waras. kadang, hanya dengan dibiarin aja, udah pergi dengan sendirinya.
Berbeda dengan azab atau hukuman. Terkadang kejadiannya lama, terus menerus dan cenderung bertambah. Umpamanya, hari ini di cek, cuma asam urat, begitu seminggu di cek lagi ke dokter, ternyata selain asam urat, gula darah naik, dicek lagi minggu berikutnya, ginjalnya bocor, sebulan kemudian dicek lagi, tambah liver. Ibarat orang jatuh, tertimpa tangga, pohonnya rubuh, nimpa rumah yang didalamnya ada anak-anaknya. abis sudah....
bersambung ya....

Senin, 10 Januari 2011

Muhammad SAW: Utusan Agung Pembawa Misi Cinta


Siapa yang cinta pada Nabinya... pasti bahagia dalam hidupnya...
Engkaulah nabi pembawa cinta...
Kau bimbing kami menuju syurga...

Setiap memperingati hari kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW, sering kali kita diingatkan dengan betapa dengan memperingati hari lahirnya, merupakan salah satu tanda kecintaan kita kepada beliau SAW. Sepanjang sejarah, berbagai ragam cara orang lakukan, ketika mencoba mengungkapkan dan mencoba mengekspresikan kecintaan mereka terhadap baginda Rasulullah SAW. Tak terhitung ribuan syair pujian tercipta, ribuan qasidah didendangkan, teriring harapan dan kerinduan tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW.
Dalam rentang sejarah kehidupan manusia, telah terlahir puluhan, bahkan mungkin ratusan tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin, pentolan-pentolan, orang yang berpengaruh, baik tokoh atau pemimpin bangsa, pemimpin agama, atau pemimpin negara. Namun dari sekian ratus orang tersebut, hanya seorang saja yang mampu menginspirasi begitu banyak manusia, baik yang mempercayainya atau bahkan bagi orang-orang yang tidak mengimaninya.
Ajaran cinta Rasulullah SAW pada hakikatnya adalah lebih agung dari ajaran cinta para pembawa agama dan kepercayaan lainnya di dunia ini. Orang-orang Nasrani boleh saja mengklaim bahwa ajaran Yesus Kristus adalah ajaran yang penuh cinta dan kasih sayang, dengan menyatakan bahwa Yesus Mati di tiang salib adalah bukti kasih sayang Yesus untu menebus dosa umat nasrani. Tapi apa yang Yesus katakan menjelang kewafatannya di kayu salib ?(versi Kristen, tentu saja); “Eli.. Eli.. Sabakhtani..” yang terjemah bebasnya adalah kira-kira “Tuhan.. Tuhan.. Tolonglah Aku..” Bagaimana ia bisa menjadi penolong bagi orang lain, sedang dirinya sendiri saja memerlukan pertolongan? Bagaimana ia bisa menjadi juru selamat bagi yang mengimaninya, sedangkan menjelang ajalnya, ia hanya memikirkan diri sendiri, yang belum tentu pula selamat?
Coba bandingkan dengan saat-saat terakhir Rasulullah SAW saat hendak menghembuskan nafas terakhir ke haribaan ilahi rabbi. Kata-kata yang terucap dari bibir beliau adalah “ummatii... ummatii...”. Betapa Rasulullah di saat-saat ajal menjelang, masih saja beliau mengingat para pengikutnya, ummatnya. Inilah bukti otentik, betapa cintanya Rasulullah kepada ummatnya. Betapa beliau bahkan tidak menyebut orang-orang terdekatnya, ayah-ibunya, atau anak-anaknya. Tapi yang beliau ingat adalah kita, ummatnya, yang bahkan  belum beliau lihat sebelumnya.
Bahkan, cinta dan kasih sayang Rasulullah SAW bukan hanya bagi pengikut dan umatnya yang jelas-jelas pula mencintai beliau. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa ada seorang pengemis Yahudi yang buta kedua belah matanya, yang biasanya duduk mengemis di salah satu sudut pasar kota Madinah. Setiap harinya Rasulullah SAW selalu mendatangi pengemis buta tersebut dan kemudian memberinya makan setiap hari. Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar R.A. begitu ingin mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW, sehingga menanyakan kebiasan apa saja yang selalu dilakukan Rasulullah SAW semasa hidupnya.  Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian menanyakannya kepada putri beliau yang juga istri Rasulullah SAW, Aisyah r.a.
Aisyah R.A. kemudian memberi tahu Abu Bakar R.A. bahwa setiap pagi, Rasulullah SAW selalu pergi ke salah satu sudut pasar di Madinah, sambil membawa makanan dan memberikannya kepada seorang pengemis yahudi buta. Maka berangkatlah Abu Bakar R.A. sambil membawa makanan menuju ke pasar Madinah. Setelah bertanya-tanya, akhirnya Abu Bakar menemukan orang yang dimaksudnya. Namun alangkah terkejutnya abu bakar ketika menghadapi kenyataan bahwa pengemis tersebut, beliau dapati sedang mencaci maki dan menghina Rasulullah SAW. Namun karena beliau yakin bahwa orang yang dimaksud adalah pengemis tersebut maka, kemudian diberikannya makanan yang telah dibawanya kepada pengemis tersebut. Namun ternyata pengemis tersebut, selain buta juga lumpuh, sehingga makan pun harus disuapi. Ketika Abu Bakar menyuapi pengemis tersebut, ia terkejut dan bertanya kemanakah orang yang biasa menyuapinya, karena kali ini ia merasa berbeda. Orang yang biasa menyuapinya, selalu mengunyahkan makanan tersebut, barulah kemudian menyuapinya. Abu Bakar kemudian menjawab; “ketahuilah, wahai pengemis buta, orang yang biasa mengunyahkan dan menyuapimu kini telah tiada, dan akulah sekarang yang akan menggantikannya. Dan ketahuilah orang tua, bahwa orang itu adalah orang yang selama ini selalu kau caci maki, kau hina dan kau nistakan. Beliau adalah Rasulullah Muhammad SAW...”
Subhanallah, manusia agung macam apakah yang memiliki rasa belas kasih seperti itu? Insan mulia yang bagaimanakah yang dikaruniai akhlaq agung semacam itu? Mencintai, bahkan pada orang yang membenci dan menghinakan serta selalu mencaci makinya. Bahkan, dalam peristiwa Fathu Makkah, orang-orang yang dahulu begitu hebat permusuhannya kepada Nabi, bahkan memerangi Nabi dan selalu berusaha untuk membinasakan Nabi SAW, diberinya maaf dan ampunan, serta diberikan pilihan, menjadi muslim atau meninggalkan kota Mekkah dengan damai. Subhanallah!
Demikianlah ajaran cinta dan kasih sayang versi Rasulullah SAW, tidak pandang bulu, tidak pula membedakan usia. Rasulullah sangat mencintai dan menyayangi cucunya yakni Hasan dan Husen, sehingga di waktu mereka masih kecil, bila bertemu dengan mereka, maka Rasulullah akan memangku dan mencium kedua cucunya tersebut. Ketika seorang sahabat melihat hal tersebut, ia berkata: “Seumur hidupku, belum pernah aku melakukan hal tersebut pada anak-anak maupun cucuku...”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi (Allah)..”
Demikianlah, Muhammad SAW, seorang Nabi dan Rasul pembawa risalah Islam, pembawa rahmat bagi sekalian alam, mengemban misi menebar cinta dan kasih sayang ke seluruh alam. “wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘aalamiin..” adakah kita umatnya sekarang telah mampu meneladaninya? Mampukah kita menampilkan wajah keislaman kita dalam bingkai cinta dan kasih sayang?
Selama ini, ada kesan seolah-olah Islam ditampilkan jauh dari nilai-nilai cinta dan kasih sayang. Wajah-wajah muslim sering kali tampil dalam frame arogansi, kebencian, permusuhan, anarkisme dan kekerasan. Kita lihat betapa media menampilkan wajah-wajah Islam dalam frame massa Front Pembela Islam yang “menyerang” massa AKKBB,  Atau FPI yang “menyerang” jemaat HKBP di Bekasi. Belum lagi teroris-teroris yang ditangkapi oleh Densus 88 yang hampir semuanya adalah orang-orang Islam, sehingga hampir-hampir saja Islam diidentikkan dengan terorisme.
Padahal, Islam masuk ke nusantara khususnya, tidak dengan jalan kekerasan, tidak juga dengan pemaksaan, dan tidak pula dengan tipu muslihat. Islam disebarkan di Indonesia khususnya, dengan jalan yang indah, damai dan santun. Islam berakulturasi, Islam berasimilasi, dengan nilai-nilai dan norma-norma setempat, sehingga dengan mudah dan cepat Islam dapat diterima oleh masyarakat kita.
Momen maulid Nabi kali ini, kita jadikan momentum untuk kembali menampilkan Islam yang penuh cinta, penebar kasih sayang, dengan belajar langsung pada sang pembawa risalah Muhammad SAW. Sudah saatnya bagi kita, untuk bisa menampilkan kembali Islam yang dibawa oleh Rasulullah, Islam yang benar-benar membawa rahmat, membawa cinta dan membawa manfaat bagi sekitar kita.

Muhammadku Muhammadku dengarlah seruanku...
Aku rindu aku rindu kepadamu Muhammad ku...
Kau ajarkan hidup ini untuk saling mengasihi
Kutanamkan dalam hati...
Kuamalkan sejak dini... (Haddad Alwi)

HADITS DAKWAH PERTEMUAN KE 11

HADITS HADITS TENTANG KEUTAMAAN DAKWAH HADITS HADITS YANG BERKAITAN DENGAN KEUTAMAAN DAKWAH   A.     Dakwah adalah Muhimmatur Rus...