Mata Kuliah Hadits Dakwah
Hadits-hadits Rosulullah dalam memperhatikan pemahaman dan kondisi jemaahnya
Hadits
tentang Dakwah Nabi Kepada Orang yang Tidak Mampu Membayar Kaffarat Puasa.
Teks
Hadist:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا
شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ
عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي
وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ
تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ
مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ
السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ
أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا
يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ
قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (رواه البخاري)
Terjemah Hadist :
"…suatu ketika kami
duduk di sisi Rasulullah, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan bertanya
kepada beliau : ya Rasulullah, celakalah aku. Jawab Rasul : kenapa engkau ini.
Jawab orang itu : aku berjima' dengan istriku padahal aku sedang berpuasa. Kemudian
Rasulullah bertanya balik: apakah engkau bisa memerdekakan seorang budak?
Jawab: tidak bisa. Rasulullah : berpuasalah dua bulan berturut-turut. Jawab:
aku tidak mampu. Rasulullah: berilah makan enampuluh orang miskin. Jawab: aku
juga tidak mampu. Kemudian Rasulullah terdiam. Dalam situasi seperti itu,
Rasulullah diberi sekantong berisi kurma. Kemudian Rasulullah bertanya: mana
tadi orang yang bertanya. Jawab: saya ya Rasulullah. Rasulullah: ambil ini dan
bersedekahlah dengannya. Jawab: kepada orang yang lebih fakir dariku ya
Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga di sini yang lebih fakir dari
keluargaku. Kemudian Rasulullah tersenyum sehingga terlihat gusinya seraya
berkata "…ambillah dan berilah makan keluargamu…" HR. Bukhari.
Penjelasan
Hadits :
Membaca hadist ini kemudian menghubungkannya dengan
metode dakwah, akan diperoleh kesan dakwah dengan hikmah. Jika kembali kepada
keterangan Sayyid Qutb, bahwa dakwah hikmah itu diantaranya terkait dengan
kondisi dan situasi mad'u, baik kondisi sosial, politik, ekonomi maupun
kultural, maka hadist ini relevan sekali bagi penulis sebagai sampel praktik
dakwah hikmah nabi. Dalam hadits tersebut ditunjukkan dialog antara seorang
laki-laki mukmin selaku mad'u yang meminta fatwa tentang hukum agama, dan Nabi
selaku da'i yang dimintai fatwa karena dinilai sebagai pihak yang mengerti akan
hukum-hukum agama.
Pemahaman
global terhadap Hadist ini akan mendorong pemikiran tentang pembenaran terhadap
kemudahan hukum (syari'at) Islam. Islam adalah agama yang didirikan atas tiga
aspek yang satu sama lainnya saling berkaitan, keimanan terhadap
doktrin-doktrin agama (akidah), kepatuhan terhadap aturan-aturan yang telah
ditetapkan (syari'at), dan budipekerti serta keteladanan (akhlak). Syari'at
sebagai satu bagian dari inti ajaran Islam tidak terpisah dari dua aspek
lainnya, lebih dari itu syari'at bersama doktrin dan akhlak membentuk satu
paket yang membentuk karakter seseorang agar memiliki keimanan yang kuat kepada
Tuhannya.
Doktrin, merupakan dasar bangunan yang dengannya
seorang mukmin diarahkan agar memiliki orientasi teologis-eskatologis. Melalui
doktrin, seorang mukmin akan paham bahwa segala eksistensi yang tampak bukanlah
tujuan hidupnya melainkan hanya alat atau sarana untuk menuju sesuatu yang
lebih bernilai, yakni ketuhanan (transendental value) dan alam akhirat (life
after death). Doktrin saja tidak cukup
karena wujudnya yang abstrak, lebih dari itu ia harus dikonkritkan dengan
amalan-amalan real yang kaidah-kaidahnya telah ditetapkan sebelumnya
berdasarkan doktrin agama, amalan real itulah yang disebut dengan syari'at.
Syari'at juga bukan tujuan agama yang sebetulnya, karena ia sekedar sarana
untuk mewujudkan kesalehan mukmin dalam tiga aspek, kesalehan terhadap Tuhan,
terhadap manusia, dan terhadap lingkungan sekitar. Karena syari'at hanya
sebagai sarana, maka walaupun telah memiliki ketetapan-ketetapan baku
karakteristiknya tidak statis, tapi fleksibel dan dinamis.
Aplikasi syari'at Islam sangat bergantung kepada
situasi dan kondisi orang yang bersangkutan. Artinya, penerapan syari'at dalam
situasi dan kondisi normal tidak bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi yang
abnormal. Maka dalam kaidah hukum Islam dikenal istilah, al hukmu yaduru
ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman ( penetapan hukum itu bergantung pada ada
atau tidaknya alasan logis penetapan hukum tersebut), atau kaidah al
masyaqqah tajlib al taysir (kesulitan situasi dan kondisi membawa kemudahan
dalam penerapan hukum). Kedua kaidah hukum di atas sebetulnya ingin menegaskan,
bahwa Tuhan memang menuntut kepatuhan hamba terhadap seluruh ketetapan
hukum-Nya. Namun demikian, Ia tidak lupa bahwa di sisi lain manusia memiliki
keterbatasan yang perlu mendapat keringanan. Karena itu Tuhan berfirman dalam
kitabnya "….Allah tidak membebani manusia diluar batas kemampuannya…",
juga berfirman "…Allah tidak menghendaki kesulitan atas kalian, tetapi
menghendaki kemudahan…".
Dalam kaitannya dengan dakwah, melalui watak dan fleksibilits
hukum Islam da'i dituntut agar mampu memperkenalkan wajah Islam yang simpel.
Karena pada hakekatnya ada tujuan yang lebih mendasar ketimbang hukum-hukum
Islam yang formal, yaitu akhlak seorang mukmin kepada dirinya sendiri yang
diwujudkan dengan kejujuran dan akhlak kepada Allah melalui usaha ketaatan yang
maksimal. Dakwah tidak seharusnya terjebak dalam formalisasi agama sehingga
kehilangan ruh dari agama itu sendiri. Formalisasi agama yang terjadi pada umat
Yahudi, dikritik keras oleh al Qur'an dan dinilainya sebagai bagian dari
penyimpangan agama. Watak permisif yang terkandung dalam agama Kristen juga di
kritik oleh Islam dan dinilainya menyimpang dari agama yang benar. Karena hal
itulah al Qur'an menegaskan bahwa umat Islam itu harus menjadi umat yang
moderat (ummatan washatan), yang salah satu tafsirannya adalah moderat
dalam hukum antara yang cenderung formalistis dan permissif. Rasulullah juga
mewanti-wanti umat Islam agar dalam berdakwah hendaknya jangan mengikuti watak
ekstrim ahl al kitab yang dianalogikan sebagai jika mereka masuk kelobang
biawak sekalipun, umat Islam akan mengikutinya.
Kasus Hadist di atas merupakan contoh dakwah dengan
metode Hikmah, yang salah satu pengertiannya –seperti diungkap Sayyid Qutb –
adalah dakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi mad'u dalam pelbagai
aspeknya. Dengan metode Hikmah ini, dakwah tidak akan kehilangan ruhnya dalam
memperkenalkan esensi Islam seperti yang dikatakan Nabi "…sesungguhnya
aku di utus untuk membangun suatu pencarian kebenaran (hanifiyyah) yang lapang
(samhah)…". Menurut Ibn Hajar al 'Asyqalani dengan mengutip pendapat
'Abd al Ghaniy dalam Mubhammat, laki-laki yang bertanya kepada Nabi mengenai
hukum kaffarat puasa ini adalah Sulaiman Ibn Sakhr al Bayadli. Lelaki ini dalam
hadist tersebut digambarkan sebagai mad'u yang memiliki kondisi ekonomi amat
fakir, namun memiliki komitmen yang kuat terhadap agamanya. Hal demikian
dibuktikannya melalui pengakuannya (confession) ketika ia melakukan
pelanggaran terhadap hukum-hukum agama. Sesuai ketentuan yang baku, orang yang
berpuasa (wajib) diharamkan untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya di
siang hari. Pelanggaran atas ketentuan hukum ini seorang muslim diwajibkan
untuk memerdekakan seorang budak mukmin, jika tidak sanggup maka alternatifnya
adalah puasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak sanggup juga, maka
alternatif terakhir adalah memberi makan enampuluh fakir miskin. Dari ketiga
alternatif hukuman yang diberikan Nabi, orang tersebut mengaku tidak sanggup
menjalaninya. Sebagai da'i yang mengerti betul situasi dan kondisi mad'u yang
dihadapinya, Nabi bahkan berinisiatif untuk memberikan makanan kepadanya agar
dapat dijadikan sebagai kaffarat. Namun demikian, diakhir pengakuannya ia
mengatakan bahwa diwilayah itu tidak ada orang yang lebih fakir darinya. Maka
keputusan yang diambil beliau adalah menyuruh orang tersebut untuk
mensedekahkan makanan pemberian beliau kepada keluarganya sebagai kaffarat.
Dari sudut pandang dakwah, keputusan yang diambil Nabi
tersebut untuk memberi makan keluarga sebagai kaffarat puasa sangat tepat dan
dibenarkan. Tindakan beliau tersebut merupakan perwujudan dari ajaran al Qur'an
bahwa infaq (sedekah) itu yang pertama kali adalah kepada orang tua (keluarga), jika ada kelebihan maka untuk kerabat, jika
ada kelebihan maka untuk yatim, miskin, dan yang dalam perjalanan. Keputusan
tersebut juga selaras dengan pernyataan lain dalam hadits bahwa sedekah (infak)
yang paling baik adalah kelebihan dari kebutuhan pokok, dan sedekah tersebut
harus dimulai dari orang yang menjadi tanggungan (keluarga). Inilah contoh
aplikasi dakwah dengan metode hikmah yang berarti dakwah dengan ilmu, dan ilmu
itu diperoleh jika da'i mengerti dan memahami situasi dan kondisi mad'u.
Hadist/Sunnah
Mengenai Fatwa Nabi Dalam Menjawab Pertanyaan Mad'u.
Teks
Hadist:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ
قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
Terjemah Hadist :
Dari Abu Hurairah RA., ia berkata
Nabi pernah ditanya "…amal-amal apa yang lebih utama?..." jawab
Rasulullah "…Iman kepada Allah dan Rasulnya…". Kemudian ditanya lagi,
"…selanjutnya apa?..", jawab "…jihad di jalan Allah…",
dikatakan "..selanjutnya apa..?", jawab "..haji mabrur…".
HR. Bukhari.
Penjelasan
Hadits :
Hal terkait berikutnya dengan dakwah hikmah adalah
materi. Seperti dijelaskan Sayyid Qutb, salah satu karakteristik dakwah hikmah
adalah materinya harus pas dan cocok dengan kebutuhan mad'u, tidak overload
yang mengakibatkan mad'u merasa terbebani sebelum sanggup melaksanakannya. Jika
demikian, maka dakwah hikmah mengharuskan adanya kesesuaian antara penyampaian
materi dan kemampuan subyektif mad'u. Penyampaian dakwah harus dalam batas yang
dicounter oleh mad'u, baik secara pemikiran (pemahaman), maupun
pelaksanaannya. Statemen yang berbunyi "…ajak bicara manusia sesuai dengan
kadar akal mereka…", agaknya mengacu kepada penekanan materi dakwah
hikmah. Maksud dari ungkapan tersebut jika dikaitkan dengan dakwah berarti
perintah untuk berdakwah dengan memperhatikan kondisi subyektif mad'u. Artinya,
materi dakwah harus dapat dicerna akal (thinkable) dari segi kemampuan kognitif
dan dapat dilaksanakan (aplicable) dari segi kemampuan pisik.
Hadist di atas memuat dialog antara Nabi sebagai da'i
dan penanya sebagai mad'u yang meminta fatwa mengenai amalan apa yang paling
utama dalam Islam. Lebih lanjut menurut hadits tersebut jawaban beliau adalah
iman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mengikuti jihad dan haji mabrur.
Menarik dalam pembahasan ini, karena penelusuran terhadap kitab-kitab hadits
mu'tabarah ditemukan adanya hadits dengan redaksi pertanyaan serupa kepada Nabi.
Hadits riwayat Ibn Mas'ud misalnya, dengan pertanyaan yang sama, ditemukan
jawaban yang berbeda dari Rasulullah. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa
amalan yang utama adalah shalat pada waktunya, berbuat baik kepada kedua orang
tua, dan baru kemudian jihad di jalan Allah. Sedangkan dalam Hadits Abu Daud
dari 'Abdullah Ibn Hubsyi Rasulullah menjawab pertanyaan tersebut dengan
jawaban Thul al Qiyam (memperpanjang raka'at dalam shalat).
Pakar Hadits Ibn Rajab menambahkan satu riwayat bahwa
amal yang paling utama adalah zikrullah. Ulama ini kemudian mencoba untuk
menjelaskan tentang keragaman jawaban Rasul dalam menjawab satu pertanyaan yang
sama tersebut, katanya masalah inilah yang membuat kesulitan pemahaman orang
banyak. Selanjutnya Ibn Rajab mencoba menjelaskan pandangan-pandangan disekitar
maslah ini. Pandangan pertama mengatakan bahwa amalan yang paling utama yang
dimaksud di sini adalah sebagian dari amalan terutama yang begitu banyak, bukan
semata-mata amalan utama itu sendirian. Pandangan kedua mengatakan bahwa
Rasulullah menjawab pertanyaan berdasarkan pertimbangan subyektif mad'u.
Maksudnya jawaban-jawaban Rasulullah di sini merupakan amalan yang paling utama
baginya secara khusus yang belum tentu menjadi amalan utama bagi lainnya.
Baik pandangan tentang sebagian dari amalan utama atau
amalan paling utama secara khusus, keduanya berangkat dari perbedaan mad'u
sehingga mengharuskan pula perbedaan materi yang harus disampaikan kepada
mereka. Walaupun materi yang disampaikan berbeda, - lanjut Ibn Rajab- bukan
berarti penyampaian dakwah beliau tidak konsisten dan bertentangan satu dan
lainnya. Iman, shalat dan haji, kata Ibn Rajab, merupakan bangunan Islam yang
lima (mabânî al khams) yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
yang lain. Dengan demikian, jawaban Nabi tentang amalan yang paling sempurna
dengan Iman, atau shalat atau haji pada hakekatnya adalah sama. Karena setiap
penyebutan satu kategori adalah simbol yang mewakili penyebutan kategori
lainnya (mabâni al khams bi jumlatiha). Ulama ini kemudian mengutip
hadits nabi berikut "empat hal yang tiga di antaranya tidak diterima
kecuali dengan melengkapi keseluruhannya, yaitu shalat, puasa, zakat dan haji"
HR Ahmad. Ibn Rajab juga mengutip riwayat dari Huzaifah Ibn Yaman, bahwa jihad
seperti juga amar ma'ruf nahi munkar merupakan bagian Islam (sahm min sihâm
al islâm) yang bersama-sama dengan mabâni' al khams membentuk
pilar-pilar penegak Islam. Oleh karenanya, dalam al Qur'an Allah senantiasa
menyertakan antara keimanan dengan jihad. Misalnya dalam firman Allah QS al
Hujarat/49: 15 yang terjemahannya demikian " sesungguhnya orang mukmin
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan
Harta dan jiwanya…" atau dalam firman Allah QS al Shaf/61: 11 yang
terjemahannya demikian " engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan
harta dan jiwa kalian…". Dengan hubungan seperti ini, maka dapat dipahami
jawaban Nabi tentang jihad sebagai amalan yang paling utama setelah keimanan.
Adapun jawaban Nabi tentang perbuatan baik terhadap
kedua orang tua sebagai amalan yang paling utama, karena perbuatan tersebut
termasuk kedalam keutamaan hak hamba (huqûq al 'ibâd). Sementara mabâni'
al khams seperti yang dijelaskan di atas merupakan hak Allah (huqûq
Allah 'azza wa jalla). Di sisi lain ada keterikatan kuat antara hak Allah
dan hak hamba yang tidak mungkin sempurna satu tanpa lainnya. Artinya,
penunaian hak Allah semata tanpa disertai oleh penunaian hak hamba tidak akan
menjadi amalan yang paling sempurna. Itulah sebabnya dalam hadits Ibn Mas'ud,
penyebutan berbuat baik kepada orang tua sebagai hak hamba dijelaskan setelah
penyebutan shalat yang merupakan hak Allah.
Keterkaitan materi tersebut
adalah hal yang mesti dipahami dan dijadikan pertimbangan oleh da'i ketika
dihadapkan oleh pertanyaan mad'unya. Jika dakwah hikmah mengharuskan kecocokkan
antara materi dakwah dan kebutuhan mad'u, maka sepatutnya jawaban yang
diberikan adalah juga yang sesuai dengan kondisi subyektif mad'u. Atas dasar logika
ini, maka dapat dipahami pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan jawaban Nabi
atas pertanyaan mad'unya merupakan jawaban khusus dengan mempertimbangkan
subyektifitas sipenanya. Kekhususan jawaban itu, kata Ibn Rajab, terlihat
ketika dihadapkan kepada Ibn Mas'ud yang secara subyektif masih memiliki Ibu
dan telah lama masuk Islam. Berbeda dengan Abu Hurairah, walaupun ia masih
memiliki orang tua, namun baru belakangan masuk Islam sehingga masih perlu
untuk dimotivasi akan arti Iman dan jihad. Demikian itu salah satu contoh lain
dari aplikasi dakwah hikmah seperti yang diajarkan rasul kepada juru dakwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar